Selasa, 24 Februari 2009

SUSTER APUNG

     Matahari beranjak keperaduan di ufuk barat ketika Hj. Andi Rabiah mulai berlayar dengan sampan kayu bermotor temple mengarungi laut flores. Perempuan berkerudung yang dijuluki “Suster Apung” itu ditemani empat pria, stafnya, bertolak dari pelabuhan paotere, makassar. Ia berlayar sejauh 295 km, menuju kepulauan liukang tangaya, sulawesi selatan.
     Pelayaran suster apung dengan kapal kayu bermotor kali ini makan waktu sehari semalam untuk sampai tempat tujuan. Ia mengarungi lautan sepanjang malam. Menjelang pagi, gelombang laut setinggi dua meter mengombang-ambingkan kapal kayu Hj. Andi Rabiah yang bertuliskan “SUSTER APUNG”. Terkadang kapal itu miring hingga 60 derajat.
     Para penumpang kapal berpegangan menjaga keseimbangan. Meski begitu, sang suster apung dengan sigap berjalan di atas kapal sembari membawa ceret teh panas. Ia menuju kerumunan penumpang yang sedang memecah lelah dan jengah di depan kapal. Pengabdian Hj. Andi Rabiah sebagai paramedic yang tak kenal lelah melayani warga kepulauan liukang tangaya itu diabadikan dalam sebuah film documenter berjudul suster.
      November lalu, LSM modernisator yang dimotori Dino Patti Djalal menganugerahi Hj. Rabiah gelar “pahlawan masa kini”. Ia memang pantas mendapat gelar pahlawan. Selama 29 tahun, perempuan kelahiran pangkep, sulawesi selatan, 29 Juni 1975, itu menghabiskan waktu menjadi tenaga medis dari pulau ke pulau di laut flores, sulawesi selatan.
     Ia berlayar menerjang ombak dengan perahu tradisional. “Sekarang sudah ada mesin. Dulu kami Cuma pakai layer, kadang tiga minggu baru tiba. Kadang menjelang maghrib, kami sudah lohat pulau, tapi malamnya hilang lagi karena kami terbawa angina dan arus,” tutur Hj. Rabiah.
     Mulanya, ia hidup dengan suami dan empat anaknya di kepulauan liukang tangaya. Tetapi, karena malaria menjangkiti suaminya, yang juga kepala puskesmas liukang tangaya, rabiah kembali ke segeri dan merawat suaminya ke kota pangkep. Namun nyawa suaminya tak tertolong.
      Sepeninggal sang suami, rabiah kembali ke pulau dengan membawa serta anak sulungnya. Ia menitipkan tiga anak lainnya kepada nenek mereka. Musibah dating lagi,. Anaknya jatuh dari pohon kelapa dan mengalami patah tulang sehingga harus dikembalikan ke segeri. Ia pun kembali seorang diri ke kepulauan liukang tangaya, mengarungi laut flores sendirian, meninggalkan empat anaknya untuk waktu yang tidak ia ketahui.
      Rabiah tinggal bersama seorang bidan dengan satu puskesmas dan satu puskesmas Bantu di kepulauan liukang tangaya. Sayang, bidan yang menemaninya juga terjangkit malaria. Akhirnya ia menjadi satu-satunya tenaga kesehatan di kepulauan liukang tangaya, yang luasnya 700 km2, selama 2 tahun.
     Suatu ketika, 6 maret 1979, rabiah harus melaut. Cuaca sangat buruk. Praak! Kapal yang ia tumpangi menghantam karang. Rabiah, kepala desa, dan selusin penumpang lainnya terdampar di atas batu karang selebar 5x20 m. kapal mereka pecah hingga puing-puing yang tersisa hanya bisa dijadikan kayu baker selama mereka terdampar.
     Untuk bertahan hidup, mereka memasak 1 liter beras untuk 14 orang, sehingga satu piring hanya dijatah 1 sendok. Namun, ditengah-tengah keterbatasan itu, ada seorang penumpang bernama kabirang. Ia memiliki keterbelakangan mental sehingga langsung memakan semua jatahnya dan menggoreng ikan asin bekal perjalanan.
     Mereka mencoba peruntungan ketika menemukan bangkai penyu besar. Lalu, menggunakan pena besi panas, ditulislah pesan di atas punggung itu :”pelita jaya terdampar pada tanggal 6 maret 1979 malam selasa di karangan kapas”. Beruntung, bangkai penyu itu terapung hingga ke pulau tempat pemilik penyu itu berasal di pulau poleonro.
     Sejak itu, dimulailah pencarian kapal karam itu. Apalagi, masyarakat kemudian menemukan puing kapal yang hanyut bertuliskan pelita jaya di pulau satangar. Pada malam hari yang gelap, mereka diselamatkan oleh kapal nelayan. Semua penumpang selamat.
     Di lain waktu, rabiah kehabisan persediaan obat. Akibatnya, ia terpaksa memberikan cairan infuse yang sudah kadaluwarsa kepada seorang penduduk yang sedang sekarat. “alhamdulillah, orang itu masih hidup sampai sekarang,” ujarnya.
    Kini Hj. Andi Rabiah memimpin 14 petugas kesehatan. Tanpa alat komunikasi, rabiah mengontrol semua petugas yang ia sebar di beberapa pulau. Para calon “suster apung” pun menghormati dan menjadikannya sebagai teladan, tanpa tunjangan dan asuransi kesehatan melanjutkan perjuangan ditengah-tengah laut flores.
     Meski penuh keterbatasan, rabiah percaya, bekerja adalah pelayanan dan tanggung jawab kepada masyarakat. Bagi dia, mereka adalah saudara.”tidak ada yang boleh meninggal karena melahirkan dan tak ada pula yang boleh meninggal karena diare,” katanya. Meski, untuk itu, ia harus menembus ganasnya lautan di tengah malam buta.  

Reference : Majalah Gatra No. 07 Tahun XV edisi 25-31 Desember 2008.  



Tidak ada komentar: